Pengimplementasian Isu Kesetaraan Gender Masih Kurang
Pakar Hukum Ketatanegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, Isu Kesetaraan Gender muncul pasca reformasi. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu agenda reformasi, yang tujuannya menjamin bahwa ketimpangan yang ada dapat dikoreksi dan persoalan-persoalan perempuan dikeluarkan dari tempatnya sekarang, yang berada di luar proses pembuatan keputusan dan ditempatkan di latar depan pada setiap tingkatan pemerintah dan kemasyarakatan.
Meski demikian dikatakan Satya pada RDP dengan Komisi VIII DPR Rabu (12/6) bahwa untuk membuat isu tersebut kedalam Undang-undang terlebih dahulu harus mengetahui apa yang ingin diatur secara spesifik di dalamnya. Jika kemudian dalam draft RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) ini tidak ditemukan apa yang secara spesifik akan diatur, maka kenapa tidak dimasukkan dalam Perubahan UU HAM (Hak Asasi Manusia) yang kini tengah dibahas juga oleh DPR.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa yang memimpin rapat mengatakan bahwa wajar saja jika kemudian timbul wacana seperti yang diungkapkan oleh Satya Arinanto tersebut. Hal ini merupakan satu proses pengayaan dalam alam demokrasi.
“Yang terpenting adalah kita ingin memberikan sebuah perlindungan pada perempuan. Bahwa kemudian itu sudah terserak di beberapa Undang-undang lainnya, seperti UU HAM, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU KDRT dan sebagainya, itu yang kita pikirkan,”ungkap Ledia.
Ditambahkan Ledia, sebenarnya secara hukum, Indonesia sudah lebih maju dalam memberikan nuansa-nuansa khusus terhadap isu gender di berbagai Undang-undang. Namun Ledia menilai pengimplementasiannya saja yang masih kurang. Pengimplementasian itu menurut Ledia butuh infrastruktur yang lengkap dari berbagai pihak.
“Di Kasus TPPO, SDM (Sumber daya Manusia) yang diberikan kepolisian untuk ikut menangani kasus ini masih kurang memadai. Contohnya saja di Jawa Barat, Kasus TPPO disini jumlahnya sangat banyak, namun Polisi yang menangani kasus tersebut hanya sekitar 43 orang. Dengan kata lain ada infrastruktur yang dibuat tidak mengikuti Undang-undang,”jelas Ledia.
Untuk itu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus terus dengan berbagai pihak untuk pengimplementasian isu kesetaraan gender ini. Salah satunya dengan pihak POLRI, dengan perekrutan SDM di dalamnya, karena saat diskusi dengan polwan sedikit sekali orang yang ingin masuk ke unit perlindungan anak. Dimana unit tersebut terkenal rumit karena harus melakukan berbagai mediasi.
“Masih panjang waktunya, tapi menurut saya kita lebih baik mematangkan draft RUU terlebih dahulu sehingga ke depannya akan lancer, apakah UU ini akan menjadi pengarusutamaan gender atau keadilan kesetaraan gender, masih dicari yang tepat,”tambah Ledia pada Parle. (Ayu) foto:ry/parle