Banyak Urgensinya Untuk Revisi UU Pilpres
Anggota DPR Indra dari Fraksi PKS menegaskan, banyak urgensinya untuk melakukan revisi terhadap UU Pilpres, bahkan merupakan keniscayaan karena beberapa pasal dari UU tersebut sudah di yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Karena itu harus dikonstruksikan kembali UU Pilpres, sebagai upaya perbaikan system pemilu Presiden yang akan datang.
“Kita semua menginginkan pada pemilu 2014 nanti bisa menghasilkan Presiden yang lebih baik. Ini menjadi masalahmendasar mengapa perlu revisi UU Pilpres,” katanya di Jakarta, Rabu (10/7).
Hal itu dikatakan Indra sehubungan penundaan kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) Selasa (9/7)
Politisi PKS ini menyatakan tidak mengerti kepada partai-partai yang tidak mau melakukan perubahan terhadap UU Pilpres, padahal bicara pilpres bukan hanya masalah presidential threshold (PT). PT hanya salah satu hal dari banyak hal yang perlu diperbaiki.
Cotohnya, kata Indra, masalah rangkap jabatan Preside, sebab rangkap jabatan seorang Presiden adalah sesuatu yang buruk, karena seorang Presiden adalah milik rakyat, milik semua golongan, semua partai. “Seorang Presiden yang ikut ngurusin partai, tidak mungkin akan bisa fokus,” jelasnya.
Yang kedua, lanjut dia, soal dana kampanye, partai yang menolak perubahan berarti tidak punya semangat untuk kejernihan dalam berkampanye. “Kita ingin dana kampanye terbatas, jangan sampai ada inflitrasi para pemodal melalui capres untuk kepentingan mereka. Dana kampanye ini rawan dengan dana asing, kalau tidak ada pembatasan akan luar biasa,” ungkap dia.
Multi efek dari dana kampanye yang tidak terbatas, bisa membeli suara. Sehingga presiden yang lahir dari sebuah beli suara dan tentu merusak demokrasi dan merusak tujuan memilih Presiden dari putra bangsa terbaik.
Dikatakan Indra, harus diakui secara jujur masyrakat kita belum seluruhnya cerdas dalam memilih seorang pemimpian dan ketika tidak ada pembatasan dana kampanye, maka bisa dijadikan instrumen untuk membeli suara.
Selain itu persoalan iklan, sambung Indra, iklan menjadi hegemoni pemiilik modal menguasai media. Kalau tidak ada pembatasan iklan bisa jadi capres dari pemilik media bisa mengkooptasi citra dari iklan-iklan yang disiarkan terus menerus. Pada akhirnya image publik bisa terkecoh dengan manisnya iklan. “ Ini harus ada pengaturan, sementara dalam UU Pilpres belum ada,” ia menjelaskan.
Di sisi lain, seorang capres paling tidak bergelar sarjana, sebab dalam UU Pilpres belum diatur. Dia tidak menafikan bahwa kemampuan dan kecerdasan itu bukan dari ijazah saja, tetapi parameter umum yang rasional adalah standar pendidikan walaupun tidak berarti orang tidak berpendidikan tidak memiliki kemampuan.
“Paling tidak, kita ini bangsa besar, harusnya mempunyai standar yang bisa dijangkau secara umum oleh alam pikiran kita. Artinya kalau ada partai yang tidak mendukung, patut dipertanyakan, mereka tidak punya komitmen minimal terhadap empat poin tersebut,” kata Indra menambahkan. (mp)/foto:iwan armanias/parle.