Sistem Paket Pemilihan Kepala Daerah Masih Diperdebatkan
Pengajuan kepala daerah dalam pemilu mendatang masih perlu memakai system paket atau non paket masih diperdebatkan. Ketua Komisi II Agun Gunajar cenderung memakai system paket, sedangkan pemerintah mengajukan system eksekutif tunggal (mono eksekutif).
Demikian mengemuka dalam dialog Forum Legislasi di ruang wartawan DPR Senayan, Jakarta. Selasa (4/2) siang.
Pimpinan Komisi dari Partai Golkar Agun Gunanjar mengemukakan, system paket diperlukan karena seorang kepala daerah bisa berakhir masa jabatan karena kondisi tertentu( force majeur ). “Tidak akan timbul problem kalau tidak ada yang jadi wakil. Namun kalau hanya sendirian, akan ada problem legitimasinya, sebab wakilnya hanya main angkat begitu saja,” tukasnya.
Menurutnya, kalau tidak membutuhkan legitimasi, mungkin bisa dipilih lewat DPRD. “ Tetapi menurut hemat saya, tetap saja jadi dua kali pemilihan, setelah Bupati/Walikota terpilih, sang bupati baru memilih wakilnya. Kalau paket akan sekaligus, bupati dan wakilnya dipilih dan legitimasinya terjamin,” tambah Agun.
Dalam persoalan pengisian jabatan wakil kepala daerah, tidak perlu melihat beban kerja dan jumlah penduduk, tetapi diseragamkan. Misalnya pasangan Gubernur-Wagub, Bupati-Wabup atau Walikota-Wawalkot, berapapun jumlah penduduk diberlakukan sama saja.
Dirjen Otda Kemendagri Johermansyah mengatakan, pemerintah mengusulkan an non paket ini karena adanya fenomena pecah kongsi. Data Kemendagri 93 persen lebih kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. Ini sangat signifikan, karena mengusulkan agar dalam system pemilihan kepala daerah baik serentak, yang dipilih hanya kepala daerahnya saja.
“Pemerintah mengusulkan sistem mono eksekutif-eksekutif tunggal. Setelah kepala daerah terpilih, bisa mengusulkan dua orang untuk menjadi wakil. Dua wakil, satu dari PNS yang memenuhi syarat dan satu lagi non PNS,” katanya.
Dalam usulan pemerintah wakil bupati ini tidak sama, misalkan daerahnya kecil maka tidak perlu ada wakil. Kalau penduduknya 500 ribu keatas cukup satu wakil. Ia menambahkan, perdebatannya belum selesai. Kontennya kata Johermansyah, berharap kepada pemerintahan yang tertib, teratur, efektif efisien, terhindar dari konfllik, kepala daerah dengan wakilnya harus akur, harmonis jangan ribut. Efeknya ketenangan pemerintah akan baik sekali .
Ditambahkan, kalau otda itu semangatnya pendidikan politik bagi rakyat maka pendikan macam apa kalau orang nomor satu dan nomor dua ribut. Meski demikian pemerintah tawarkan opsi bisa dua pintu, bisa buka dari partai atau non PNS, tapi tidak dipilih. Pasalnya konstitusi juga tidak mengamanatkan, sesuai pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa gubenur, bupati/walikota dipilih secara demokratis . “Tidak disebutkan gubernur dan wagub, juga tidak diatur pemilihan bupati dan wakil bupati. Kalau pemilihan Presiden, memang disebut memilih Presiden dan Wakil Presiden,” tegasnya.(mp)/foto:iwan armanias/parle/odjie*