DPR Segera Tuntaskan RUU JPH

04-06-2014 / PANITIA KHUSUS

DPR segera menuntaskan RUU tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang kini tinggal menunggu kesepakatan antara DPR dengan pemerintah. Kesepakatan yang akan dicapai antara DPR dan Pemerintah adalah mengenai proses sertifikasi halal antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag).

Hal itu disampaikan anggota PanitiaKerja (Panja) RUU Jaminan Produk Halal (JPH) Raihan Iskandar (FPKS) dalamaacara diskusi Forum Legislasi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (3/6).Selain Raihan Iskandar, hadir pula Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim dan Pengurus Harian YLKI TulusAbadi.

Menurut Raihan Iskandar, MUI ingin tetap sebagai pemberi fatwa haram (substantif), tapi Kemenag ingin administrative dan substantif di bawah pemerintah. “ Ketidaksepakatan kedua kewenangan itu kalau nanti tetap buntu, maka akan divoting. Karena itu, mestinya pembahasan di pemerintah tentang kedua kewenangan itu selesai terlebih dahulu sebelum dibahas di DPR, dan DPR tetap menghargai proses sertifikasi halal MUI yang sudah berlangsung 25 tahun ini," katanya.

Diakui Raihan, jika posisi MUI ini bukan pemerintah, bukan LSM, bukan juga BUMN. Tapi, keberadaannya dalam RUU JPH ini sangat dihargai sebagai pemberi fatwa halal. Oleh sebab itu dalam RUU JPH ini, masih terdapat dua alur proses sertifikasi halal, yaitu pemerintah dan MUI. “ Kalau DPR  yang penting dalam sertifikasi halal ini jangan sampai saling mengganggu antara MUI dan Kemenag” ujarnya.

Terkait sifat sertifikasi, Raihan menjelaskan DPR menawarkan sifatnya mandatory (wajib), sedangkan dari pemerintah sifatnya sukarela.

Sementara itu, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menjelaskan kalau sertifikasinya bersifat sukarela maka tak berarti UU ini tidak ada relevansi dan kepentingannya karena sama saja dengan yang adasekarang. Selain itu, tambahnya, berarti bukan untuk melindungi masyarakat.

Ia menambahkan, karena sifatnya yang sukarela maka selama 25 tahun MUI menjalankan sertifikasi halal masih banyak industri yang tak mendaftarkan sertifikasi halal. "Harusnya sifatnya mandatory. Kalau sukarela maka UU ini menjadi takrelevan. Yang utama itu perlindungan masyarakat maka sifat sertifikasinya harus mandatory," katanya.

Meskipun demikian, Lukmanul menegaskan sifatnya mandatory yang terstruktur dengan berbagai pertimbangan. Dijelaskan sekarang ini perdebatan yang ada hanya pada siapa yang berwenang memberikan sertifikasi.

Selain sertifikasi, penetapan lembaga pemberi fatwa halal, dan pengawasan oleh pemerintah juga dianggap penting oleh MUI. “Apa yang dilakukan oleh MUI selama 25 tahun ini akibat kekosongan UU, di mana selama ini pemerintah, negara memang tidak peduli terhadap perlindungan konsumen, sehingga banyak produk dalam negeri maupun luarnegeri (impor), bebas sertifikasi halal dan jelas merugikan umat Islam,” ujarnya.

Karena itu lanjut Lukman, pembahasan RUU JPH ini menjadi tidak penting, kalau hanya menyangkut masalah otoritas - kewenangan, bukan asasi dari sertifikasi halal itu sendiri. Padahal, asasinya adalah perlindungan. Sangat mendesak konsumen diberi perlindungan.

Bukan hanya siapa melakukan apa? Untuk itulah MUI bersikukuh, karena sertifikasi ini terkait dua hal; yaitu substantif (fatwa halal MUI), dan administratif. Di mana untuk fatwa itu dibutuhkan orang yang kompeten, dan harus bebas dari intervensi politik siapapun,” ujarnya.

Sedangkan secara administrative menurut Lukman, terkait dengan pemeriksaan, pengawasan, standar halal, peredaran produk, standar produk halal, registrasi produk, dan sebagainya akan dilakukan oleh siapa? “Kalau fatwa halal bisa dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Persis, dan ormas lainnya, ini justru bisa menimbulkan konflik dan kebingungan masyarakat, karena dipastikan akan terjadi perbedaan fatwa halal maupun haram. Jadi, MUI sebagai satu-satunya lembaga sertifikasi halal ini sebagai upaya untuk mengeliminir potensi konflik tersebut, dan di MUI terdiri dari para ulama dan kiai NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain ormas Islam,” pungkasnya.

Sementara ituTulus Abadi menyatakan sepakat soal sifat sertifikasi, harus mandatory. " Tapi ini, mandatory harusbertahap. Kalau tidak akan jadipersoalan. Sudah siap belum infranstrukturnya," katanya. Tulus mengingatkan jangan sampai niatnya melindungi masyarakat namun nanti sertifikasi halal justru akan menjadi beban industry kecil. (nt/sc), foto : andri/parle/hr.

BERITA TERKAIT
Pansus: Rekomendasi DPR Jadi Rujukan Penyelidikan Penyelenggaraan Haji
30-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR RI terkait penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi setelah melakukan...
Revisi UU Tentang Haji Diharapkan Mampu Perbaiki Penyelenggaraan Ibadah Haji
26-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 DPR RI mendorong adanya revisi Undang-undang Haji seiring ditemukannya sejumlah...
RUU Paten Jadikan Indonesia Produsen Inovasi
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus RUU Paten Subardi menyatakan aturan Paten yang baru akan mempercepat sekaligus memudahkan layanan pendaftaran...
Pemerintah Harus Lindungi Produksi Obat Generik Dalam Negeri
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Paten Diah Nurwitasari meminta Pemerintah lewat sejumlah kementerian agar mampu...