Revisi UU MD3 Akan Perkuat Kinerja Parlemen
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) revisi UU MPR,DPR,DPD dan DPRD (MD3) Fahri Hamzah menegaskan semangat dari pembahasan revisi UU MD3 adalah memperkuat parlemen sebagai lembaga penyeimbang atau check and balances terhadap pemerintah.
“UU MD3 ini akan menentukan poros politik Indonesia lima tahun ke depan, dimana DPR dan DPD akan memperkuat sebagai lembaga penyeimbang, check and balances, karena tak mungkin mempertahankan sistem yang ada saat ini,” kata Fahri dalam acara pada Forum Legislasi bertajuk ‘UU MD3’, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/6).
Dalam acara itu selain Fahri Hamzah, hadir pula anggota DPD dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Farouk Muhammad, dan Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, sebagai pembicara.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berjanji pihaknya akan mengevaluasi problem mendasar sistem perwakilan agar DPR tidak lagi dituduh macam-macam, dan tidak dianggap hanya sebagai pelengkap pemerintah. Padahal, menurut dia, DPR itu berkewajiban mengawasi pemerintah dengan memberi kekuasaan pada DPR melalui fungsinya tersebut. “Jadi, kalau negara ini tak dikelola dengan baik, maka DPR yang dianggap bermasalah,” ujarnya.
DPR pun kata Fahri, dengan dibubarkannya Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), maka anggota DPR tak perlu lagi berurusan dengan belanja dan menyerahkan sepenuhnya pada sekretariat jenderal. Untuk itu, dengan revisi UU MD3 ini DPR ke depan tak lagi berurusan dengan BURT, Badan Anggaran (Banggar). “Semua itu karena tugas utama DPR adalah lobi. Lobi sejalan dengan fungsinya untuk pengawasan, legislasi dan anggaran,” tambahnya.
Menyinggung pemilihan pimpinan DPR yang disebut-sebut tidak lagi berdasarkan pemenang pemilu menurut Fahri, semua aturan ada positif dan negatifnya. “Hanya saja untuk partai pemenang pemilu, jangan mengajukan satu orang calon, melainkan lebih agar DPR memberi pilihan-pilihan. Sebab, pimpinan DPR itu akan mewakili otak dari 560 anggotanya,” katanya.
Selain itu lanjut Fahri, pimpinan DPR itu harus berwibawa dan menguasai masalah serta mampu memimpin rapat dengan benar dan baik. “Kalau pimpinan rapat berwibawa dan meyakinkan, maka rapat itu menjadi baik, dan sebaliknya rapat akan menjadi jelek,” pungkasnya.
Sementara itu Farouk Muhammad mengatakan secara substansial apa yang menjadi harapan DPD dalam UU MD3 adalah putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut, Farouk, berdasarkan putusan MK, ada dua aspek yang ditekankan tentang fungsi legislasi, yakni mengenai kewenangan DPD dalam proses awal penyusunan program legislasi nasional sampai tingkat penyusunan RUU.
Namun permasalahannya, kata Farouk, adalah bagaimana mekanisme dalam menciptakan formatnya. Karena sudah terlalu lama praktek satu kamar ini berlangsung. Sebab, kata dia, ketika sebuah ide diketengahkan tidak ditemukan formula yang tepat. Akhirnya, semuanya tetap berjalan ditempat dan putus ditengah jalan.
“Apa sulitnya menyatukan konsep program legislasi nasional DPD dengan DPR dan pemerintah, kocok aja, mana yang realistis untuk kita implementasikan dalam satu periode atau setiap tahun,” ujarnya.
Di lain pihak Direktur Monitoring PSHK Ronald Rofiandri menilai pembahasan RUU MD3 saat ini dinilai cenderung memperluas dan memperkuat kewenangan serta otoritas secara kelembagaan maupun individu.
"Memang tidak salah, demi mendongkrak kinerja dewan. Namun sayangnya skala dan porsi tentang transparansi serta akuntabilitas parlemen malah mengecil, bahkan minus,” katanya.
Soal perluasan otoritas DPR ini, kata Ronald, tercermin dalam pasal 96 ayat (6) yang isinya mengikat pemerintah dalam melaksanakan keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi. Sementara yang memperluas otoritas/wilayah individu anggota DPR, ada di pasal 78 huruf (i) dan huruf (j) atau pasal 96 ayat (2) huruf (c), dimana hak anggota DPR terkait (i) program pembangunan dapil; dan (ii) pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan serta administrasinya secara mandiri.
Menurut Ronald, pengurangan skala transparansi dan akuntabilitas dewan, bisa dibandingkan melalui pasal 73 ayat (5) UU MD3 dengan pasal 73 ayat (5) dan ayat (6) RUU MD3, dimana kalimat perundang-undangan mengalami penyusutan makna. Selain itu juga, bisa dibandingkan dengan pasal 80 UU MD3 dengan pasal 80 RUU Md3, dimana menghilangkan kewajiban evaluasi fraksi terhadap kinerja anggotanya dan pelaporan kepada publik.
Lebih jauh kata Ronald, kalimat perundang-undangan yang mengalami penyusutan makna ada dalam pasal 73 ayat (5), UU MD3, berbunyi DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan. Sementara pada pasal 73 ayat (5) berbunyi DPR membuat laporan pengelolaan anggaran setiap akhir tahun anggaran dan ayat (6), laporan dimaksud dapat diakses oleh publik. (nt/sc)/foto:odjie/parle/iw.