Gabungan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Bisa Jadi Opsi Pemilu

20-07-2016 / BADAN LEGISLASI

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menilai tidak semua sistem pemilihan umum yang demokratis harus terbuka, sebaliknya sistem proporsional tertutup juga tidak berarti tidak demokratis. Sistem kombinasi antara proporsional terbuka dan proporsional tertutup bisa menjadi salah satu opsi dalam sistem pemilihan berikutnya.

 

“Di Jerman ada sistem dimana posisinya adalah gabungan antara tertutup dan terbuka. Artinya, untuk caleg anggota DPR tertentu ketika mereka mendapatkan prosentasi tertentu maka hak suaranya pada caleg yang bersangkutan. Sebaliknya, kalau tidak kembali kepada nomor urut. Ini juga menjadi bisa menjadi salah satu pilihan,” ungkap Firman Soebagyo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, (20/07/2016).

 

Ia menjelaskan, terdapat beberapa nilai positif jika diberlakukannya sistem proporsional tertutup. Pertama, anggota DPR sebagai perpanjangan tangan partai harus menyuarakan kebijakan partai sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Parpol.

 

Selanjutnya, menurut Firman, dengan sistem tertutup maka sumber daya manusia yang akan terpilih menjadi anggota dewan bisa dilakukan  inventarisasi kebutuhan. “ Misalnya dari Komisi I sampai XI kita perlu orang-orang yang sesuai dengan kompetensi sehingga orang-orang itulah nanti yang bisa diberikan posisi strategis berdasarkan track record dan kapabilitasnya,” ucap politisi Fraksi Golkar itu.

 

Sisi lain, lanjut Firman, jika tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, maka pengalaman Pemilu 2009 dan 2014 akan terulang lagi, yaitu adanya kompetisi secara terbuka, demokratis tetapi tidak sehat. Sebab yang mereka yang terpilih adalah yang popular dan money politics, hal itulah menjadi salah satu faktor penentu.

 

“Inilah yang menjadi bahan pertimbangan, bagaimana kalau dikembalikan ke sistem tertutup. Namun, kita akan tetap kaji kembali, karena gagasan tertutup ini juga baru disampaikan beberapa partai politik dan beberapa partai lainnya juga masih menolak,” ujar politisi dari dapil Jawa Tengah III itu.

 

Plus dan minusnya memang ada, kalau semuanya terbuka, yang memiliki nomor urut 2, 3 bahkan 5 bisa terpilih karena mereka ingin memacu prestasi dan mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Sedangkan ketika sistemnya tertutup, kemungkinan yang rawan adalah ketika nomor 1 ditetapkan orangnya maka yang nomor urut 2, 3 dan seterusnya tidak bekerja,” imbuhnya.

 

Sebagaimana diketahui, dalam sistem proposional terbuka yang lolos menjadi anggota parlemen adalah yang memperoleh suara terbanyak saat pemilihan. Sementara proporsional tertutup berdasarkan pada nomor urut yang ditentukan oleh partai politik.(ann,mp)/foto:kresno/iw.

 

BERITA TERKAIT
Peringatan Legislator Soal IUP untuk Ormas: Tambang Bukan Sekadar Soal Untung
30-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Edison Sitorus, menyoroti revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)...
Revisi UU Minerba, Demi Kemakmuran Rakyat dan Penambangan Berkelanjutan
25-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Edison Sitorus, menyampaikan pandangannya mengenai revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU...
RUU Minerba sebagai Revolusi Ekonomi untuk Masyarakat Bawah
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Aqib Ardiansyah menilai filosofi dasar dari penyusunan RUU tentang Perubahan Keempat...
RUU Minerba: Legislator Minta Pandangan PGI dan Ormas soal Keadilan Ekologi
23-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Kholid mengapresiasi masukan yang disampaikan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) terkait...