Lex Specialis yang Dimiliki KPK tidak Eksklusif.
12-07-2017 /
PANITIA KHUSUS
Demikian dikemukakan pakar hukum pidana M. Sholehuddin di hadapan rapat Pansus Hak Angket KPK di DPR, Selasa (11/7). Ia dimintai keterangannya sebagai ahli dalam rapat Pansus yang dipimpin Wakil Ketua Pansus Dossy Iskandar. KPK selama ini, memang, menggunakan UU KPK sebagai sumber rujukan utamanya, selain juga KUHAP. Dua sumber hukum ini berbeda dalam menerapkan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
“Perlu ada evaluasi masalah lex specialis yang paling krusial di KPK untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Antara UU KPK dan KUHAP ada yang beda. Penyelidikan menurut KUHAP tujuannya mencari dan menemukan adanya peristiwa yang diduga kuat sebagai tindak pidana. Tapi dalam UU KPK, penyelidikan tujuannya untuk mencari dan menemukan dua alat bukti,” jelas Sholehuddin.
Norma dalam UU KPK tetap harus mengacu pada KUHAP. Dan KPK tidak bisa keluar dari norma-norma tersebut. “UU KPK normanya tetap mengacu pada KUHAP. Lex specialis jangan dimaknai eksklusif. Pemaknaan eksklusifitas terhadap lex specialis yang dimiliki KPK justru akan menimbulkan overkapasitas dalam pelaksanaan tugasnya. Lex specialis hanya untuk memudahkan dan meringankan pelaksanaan pemberantasan Tipikor,” paparnya lagi.
“Kasusnya tidak pernah diminta konfirmasi terlebih dulu dan tidak pernah diperiksa sebagai saksi. Lalu dicantumkan dalam surat dakwaan. Ini melanggar hukum acara pidana. Surat dakwaan itu, kan, akta otentik dan bersifat pro justitia, sehingga semua tindakan yang diambil dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan harus berdasarkan norma-norma yang sudah ditetapkan dalam hukum acara pidana,” tegas Sholehuddin.
Pada bagian lain, Sholehuddin di hadapan pimpinan dan para anggota Pansus, juga mengatakan bahwa DPR berhak mengawasi semua lembaga negara termasuk KPK. Semua lembaga negara dibentuk berdasarkan UU dan UU tersebut dibahas dan disahkan di DPR. Dalam proses pembahasannya, UU KPK dibentuk dalam suasana eforia politik, sehingga muncul bahasa politik, bukan bahasa hukum.
Misalnya, sambung Sholehuddin, soal pertanggungjawab kinerja KPK. Bagaimana sebetulnya bentuk pertanggungjawabannya kepada publik. Inilah satu kelamahan yang perlu dicermati oleh DPR, agar KPK tidak jalan sendiri sebagai lembaga negara yang tak tersentuh pengawasan. (mh,mp)/foto: iwan armanias/iw.