Legislator Pertanyakan Ungkapan ‘Ormas Sebagai Makhluk Politik’

07-11-2019 / BADAN LEGISLASI
Wakil Ketua Baleg Ibnu Multazam. Foto : Arief/mr

 

Badan Legsilasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pengurus Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) terkait penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Ibnu Multazam itu, disampaikan usulan-usulan tentang RUU Perkumpulan dalam Prolegnas 2020-2024 dan prioritas 2020.

 

Yappika sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berdiri dan bekerja bersama-sama sebagian masyarakat Indonesia sejak tahun 1991 untuk mendorong kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik di antaranya bidang pendidikan dan kesehatan. Yappika bekerja untuk memastikan ada dan terjaganya kebebasan berkumpul dan berpendapat serta mendukung peningkatan kapasitas untuk organisasi nirlaba lainnya

 

Dalam kesempatan audiensi itu, Anggota Baleg DPR RI Sodik Mudjahid mengaku merasa sedikit terkejut akan pernyataan yang menyebut bahwa  ormas adalah makhluk politik. “Saya dan juga teman-teman banyak yang menjadi anggota ormas. Tadi (saya) agak kaget juga dan mohon klarifikasi, mengenai pernyataan bahwa ormas itu adalah makhluk politik di dalam pandangan Mendagri,” ucap Sodik di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

 

Dengan pandangan ormas sebagai makhluk politik, apakah hal itu ada pelanggaran atau tidak, sambungnya. “Saat ini sudah ada UU Ormas. Jika memang kedudukan hukumnya seperti ini, apakah masih diperlukan Undang-Undang Ormas itu, atau cukup saja Undang-Undang tentang Badan Hukum Perkumpulan,” ujarnya.

 

Sebelumnya, dalam paparan yang disampaikan, Yappika mengaku sempat bertanya kepada pihak Kemendagri, apakah ormas itu termasuk makhluk politik atau makhluk hukum? Dan jelas (dijawab pihak Kemendagri) makhluk politik, tetapi bukan partai politik. Cara mendekati dan mengaturnya dengan pendekatan politik dan keamanan.

 

Dikatakan, ketika berbicara tentang RUU Perkumpulan, bisa saja kita dihadapkan pada kerumitan bagaimana membedakan antara perkumpulan dengan NGO, LSM, ataupun Ormas. Sesungguhnya ada yang memang sebatas istilah praktek ataupun ada juga yang merupakan kerangka hukum yang berlaku sampai dengan hari ini.

 

Yappika menjelaskan, esensi seseorang untuk berorganisasi adalah menikmati hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi. Kalau berbicara di sektor sosial, kerangka hukum yang tersedia hanya ada dua, yakni yayasan dan perkumpulan, akan tetapi tidak semua organisasi wajib dan perlu berbadan hukum.

 

Pada tanggal 2 Juli 2013 lahir Undang-Undang Ormas. UU Ormas tersebut menempatkan seluruh jenis identitas dalam term ormas. Keberadaan ormas dibina oleh sebuah institusi yang ditugaskan melakukan pembinaan politik, yaitu Kementerian Dalam Negeri. Sehingga secara tidak langsung keberadaan sektor sosial didekati dengan cara pandang pendekatan politik dan keamanan. (dep/es)

BERITA TERKAIT
Edi Purwanto: Aturan Perserikatan Buruh Belum Rinci, Pekerja Migran Rentan
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Jaringan Buruh Migran (JBM), Konfederasi...
Legislator Dorong RUU Pelindungan Pekerja Migran, Sebagai Tanggung Jawab Negara
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, berharap penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No....
Baleg Susun RUU untuk PMI dengan Keahlian Tertentu
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengungkapkan bahwa revisi UU tentang Perubahan Ketiga...
DPR Bahas Revisi UU Demi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, menegaskan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga...