Pembahasan RUU PKS Perlu Pertimbangkan Kondisi Masyarakat di Tengah Pandemi

14-07-2021 / BADAN LEGISLASI
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nusron Wahid. Foto: Oji/Man

 

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nusron Wahid meminta pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar mempertimbangkan kondisi yang pandemi yang tengah terjadi saat ini guna menjaga kondusifitas masyarakat.

 

“Nah saya khawatir di tengah situasi yang lagi begini, sebab pandemi, sign of crisis ini nanti akan membutuhkan proses diametral pembelahan opini lagi di tengah-tengah masyarakat,” jelas Nusron dalam Rapat Dengar Pendapat Baleg DPR RI secara virtual, Selasa (13/7/2021). Ia melihat bahwa pembahasan mengenai RUU ini menimbulkan beberapa kesan di masyarakat.

 

Pembelahan opini dalam pembahasan RUU PKS ini dikhawatirkan akan menciptakan ketidakharmonisan dan ketidaknyamanan di masyarakat lebih jauh. Bukan masalah substansinya, namun kesan yang muncul di masyarakat. Sehingga ia berharap, jangan sampai pembahasan RUU ini malah menimbulkan masalah baru di tengah kondisi serba krisis saat ini.

 

Secara singkat, politisi Partai Golkar tersebut melihat RUU PKS ini masih terjadi perdebatan di masyarakat, yakni yang pertama berdasarkan dimensi universalitas, yang kedua secara dimensi lokalitas kebudayaan, dan ketiga adalah dimensi pemahaman keagamaan yang bersifat kepercayaan.

 

Nusron melanjutkan, di kalangan kaum yang mengusung kebebasan atau dapat disebut sebagai liberalis atau feminis, terdapat perspektif yang negatif tentang RUU ini. RUU PKS menurut mereka terlalu mengatur hak-hak privat orang. Seharusnya, RUU masuk ke ranah yang bersifat publik, bukan lagi yang mengatur urusan yang bersifat privat. “Jadi kembalikan pada res publica, bukan res privata. Ini perspektif atau kesan yang dibangun teman-teman yang mempunyai pendapat selama ini mengusung kebebasan,” terang Nusron.

 

Sementara menurut pihak yang berbasis pesantren seperti ulama, mereka berpandangan bahwa undang-undang ini dianggap terlalu mengatur ranah yag adanya kebebasan. Jadi mengapa hubungan rumah tangga diatur, sedangkan LGBT tidak diatur. Adapun pendapat dalam kalangan kaum agamawan, yang namanya asal hukum itu boleh selama tidak dilarang.

 

“Karena dalam undang-undang ini tidak ada larangan tentang tentang LGBT, maka LGBT boleh. Sementara dalam undang-undang ini diatur yang lain tidak boleh,” imbuh politisi dapil Jawa Tengah II itu.

 

Nusron berharap pembahasan RUU ini agar merangkum dan kemudian mendialogkan ketiga hal tersebut, yakni sisi yang mengusung seks ini adalah sebagai kebebasan privat bagi sebuah hak asasi manusia, sisi yang mengusung dimensi lokalitas, yaitu local wisdom kebudayaan, serta pada  sisi yang mengusung dimensi keagamaan, yang selanjutnya dirangkum dalam konteks kepancasilaan. (hal/sf)

BERITA TERKAIT
Legislator Dorong RUU Pelindungan Pekerja Migran, Sebagai Tanggung Jawab Negara
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, berharap penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No....
Baleg Susun RUU untuk PMI dengan Keahlian Tertentu
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengungkapkan bahwa revisi UU tentang Perubahan Ketiga...
DPR Bahas Revisi UU Demi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, menegaskan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga...
Peringatan Legislator Soal IUP untuk Ormas: Tambang Bukan Sekadar Soal Untung
30-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Edison Sitorus, menyoroti revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)...