Komisi VII Undang Pakar Bahas RUU Kepariwisataan
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Rapat Komisi VII, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025). Foto : Farhan/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi VII DPR RI mengundang para pakar dan akademisi untuk terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, mengatakan bahwa para pakar diundang untuk menyerap aspirasi guna memperkaya pembahasan RUU Kepariwisataan. Ia menekankan bahwa sektor pariwisata saat ini telah dialihkan dari Komisi X DPR RI ke Komisi VII DPR RI.
“Nah, masukan dari Bapak-Bapak yang memiliki latar belakang beragam sangat kami butuhkan,” ujar Evita saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Rapat Komisi VII, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Legislator Fraksi PDI-Perjuangan itu menjelaskan bahwa RUU Kepariwisataan merupakan RUU yang pembahasannya belum tuntas pada periode sebelumnya dan dilanjutkan ke periode ini. Meski telah dibahas sebelumnya, ia menegaskan bahwa Komisi VII DPR RI tetap memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan sesuai perkembangan terbaru.
“Karena ini belum disahkan, jadi kalau ada tambahan dengan mempertimbangkan dinamika saat ini, kami (Komisi VII) terbuka menerima masukan agar RUU ini mampu meningkatkan sektor pariwisata ke depan serta memperkuat aspek penegakan hukum yang ada,” jelasnya.
Dalam rapat tersebut, hadir empat pakar, yakni Prof. Azril Azahari selaku Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Prof. Diena Mutiara Lemy selaku Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pelita Harapan (UPH) sekaligus Ketua Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia (HILDIKTIPARI), Prof. Andri Gunawan Wibisana selaku pakar lingkungan hidup, serta Dr. Komara Djaja dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.
Prof. Diena Mutiara Lemy menekankan bahwa revisi UU Kepariwisataan merupakan kebutuhan mendesak. Menurutnya, sektor pariwisata telah mengalami banyak perubahan, sementara UU yang ada saat ini—yakni UU Tahun 2009—meskipun secara filosofis sudah baik, tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan terbaru di sektor ini.
Beberapa aspek yang menurut Lemy perlu diatur dalam RUU ini meliputi peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), regulasi pembangunan pariwisata yang sering berbenturan dengan tata ruang, kurangnya inovasi, perizinan, hingga konsep pariwisata berkelanjutan.
“Ketika UU dibuat, harapannya seluruh kompleksitas dalam sektor ini dapat terakomodasi agar regulasi yang dihasilkan benar-benar mampu mendorong kesejahteraan masyarakat melalui sektor pariwisata,” pungkasnya. (rnm/aha)