Membangun Negara Dari Keluarga

02-04-2013 / KOMISI VIII

Awal 2013, kekerasan pada anak terutama kejahatan seksual  terjadi secara beruntun. Mulai dari siswi SD yang meninggal dunia, bocah 5 tahun disodomi, hingga terakhir siswi SMA yang dilecehkan gurunya. Kasus-kasus ini tentu membuat kita miris. Keluarga dan masyarakat harus waspada, karena pelaku bisa saja adalah orang-orang terdekat.

Meningkatkannya kasus kejahatan seksual terhadap anak, membuat Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menetapkan tahun 2013 merupakan tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap anak

Anggota Komisi VIII DPR RI, Ali Maschan Moesa menilai  istilah tersebut tidak terlalu penting, namun bagaimana Komnas PA bisa melakukan aksi dan proaksi. “Justru kita pertanyakan mengenai darurat tersebut, kalau dikatakan darurat namun aksinya tidak ada kan menjadi tidak bermakna”, katanya.

UU tentang Perlindungan Anak  sendiri sudah ada, menurutnya, tinggal  sekarang  bagaimana eksekutornya yaitu  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).  KPAI tidak bisa sendirian harus berjalan dengan stakeholder yang lain.

Melihat fenomena meningkatnya kekerasan pada anak sendiri, Ali Maschan menyatakan, bahwa menurutnya KPAI sebenarnya sudah overload pekerjaannya. KPAI  harus menjalin kerjasama  dengan lembaga-lembaga terkait seperti Kementerian Agama dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan RakyatKarena menurut penilaiannya hal itu yang belum dilakukan.

“Saya kira seeing is learning, tidak seperti membaca, reading is reading begitu, jadi apa yang dilihat anak sekarang itu yah memang kekerasan seperti melihat TV, jadi contoh-contoh kekerasan yang dilihat anak, dan anak belum mampu memfilter itu baik atau tidak, anak-anak kan jiwanya masih labil, dan disinilah pentingnya peran keluarga, karena soal keluarga nomer satu”, papar politisi dari Fraksi PKB.

Jadi  menurutnyauntuk membentengi anak, tetap nomer satu adalah keluarga. Kemudian  menteri agama dan  menteri pemberdayaan perempuan, diminta lebih proaktif.  “KPAI sendiri tidak begitu  bisa menyelesaikan, kita tahu sendirilah power dari KPAI, melawan Komnas PA saja masih kalah pamor kok, tapi disinilah tantangannya bagaimana mereka menjalin kemitraan, nah kalau DPR kan hanya menyetujui anggaran, kebijakannya harus begini, UU nya harus begini, kan sudah, nah regulatornya ini mereka yang harus proaktif,” jelasnya.

Persoalannya justru memang hari ini memang ada pada anak, presiden saja menurut saya tidak mempunyai sensibililtas yang kuat, katanya.

“Mana presiden bicara itu, lebih bicara kepada operasional, dan tidak banyak komentar, yah seharusnya memang diakui pekerjaan presiden banyak, tapi kan tidak semestinya seperti itu, presiden menurut saya harus punya tingkat empati, harus ada skala prioritas”, terangnya.

Skala prioritasnya menurut Ali Maschan, sekarang itu adalah terhadap anak dan keuarga. Politik sekarang ini adalah implikasi terhadap kualitas keluarga, yang masih mengalami degradasi kualitas yang sangat luar biasa, orang sekarang tidak memandang keluarga sekarang penting, orang sekarang tidak memandang bahwa anak itu adalah titipan tuhan.

“Kalau saya lebih agak konservatif memang, tayangan-tayangan TV harus bisa lebih diseleksi lagi, meski pemikiran tersebut agak konservatif tapi itu penting menurut saya, seperti halnya di cina yang memblok google”,  kata Guru Besar Ilmu Sosiologi di salah satu Perguruan Tinggi.

Menurutnya  ini karena adanya lompatan budaya, budaya yang bener itu  melihat, membaca baru menonton. Masyarakat yang mengikuti pola ini adalah masyarakat yang well inform, orang yang mampu mencerdasakan.

Tapi  masyarakat sekarang itu, seperti mendengar lalu langsung melompat ke membaca dan membaca tidak tuntas, dan masyarakat kita langsung menonton,  jatuhnya seperti yang saya katakan tadi, seeing is learning, apa yang dilihat itu menjadi sebuah pembelajaran dan mereka belum bisa memfilter dan membedah apakah ini baik dan buruk, imbuhnya.

Jikalau dirinya menjadi  seorang presiden, dia akan menempatkan   keluarga adalah nomor satu. Menurutnya  politik tidak penting, karena  politik itu adalah implikasi terhadap keluarga yang berkualitas.

“Saya sebagai muslim, coba lihat, Tuhan didalam Al-quran, kata politik tidak ada, yang ada adalah kata keluarga, sebagai contoh  ada 100 ayat hukum dalam Al-quran,  dan  70 persennya adalah hukum tentang keluarga”, tegasnya.

Jadi keluarga itu paling penting, politik tidak penting, kata politik di Al-quran tidak ada, bukan berarti di Islam tidak ada politik, itu hanya pikiran-pikiran yang bisa kita terjemahkan, analisis saja terhadap ayat-ayat, tapi  kalau kita berbicara keluarga, di Al-quran sangat-sangat rinci, itu artinya Tuhan mengingatkan bahwa membangun masyarakat adalah dari keluarga, bukan dari demokrasi.

“Saya sebagai anggota DPR tidak percaya demokrasi, pemimpin yang di pilih orang banyak itu nothing, pemimpin itu yang wise,  orang wise itu muncul dari keluarga yang wise,” tegasnya mengakhiri. (sc), foto : wy/parle/hr. 

BERITA TERKAIT
Legislator Ingatkan Koordinasi Program Sekolah Rakyat dengan Kementerian Terkait
07-02-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Pemerintah tengah merancang konsep Sekolah Rakyat sebagai solusi untuk menekan angka putus sekolah, terutama bagi anak-anak dari...
Komisi VIII Raker dengan Mensos, Bahas Efisiensi Anggaran dan Program Kerja
07-02-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko menyatakan bahwa Komisi VIII DPR RI telah menerima penjelasan...
Komisi VIII Apresiasi Terbentuknya Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional
07-02-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menyampaikan apresiasi dan dukungan terhadap penyusunan Data Tunggal Sosial Ekonomi...
Maman Dorong BNPB Tingkatkan Sinergi dengan Publik dan Swasta
07-02-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman, menyoroti dampak signifikan dari efisiensi anggaran terhadap penanganan bencana di Indonesia....