Regulasi Bidang Panas Bumi Belum Jawab Tantangan

04-03-2014 / PANITIA KHUSUS

 

 

Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus RUU Panas Bumi DPR Satya Widya Yudha (F-PG), mengatakan regulasi di bidang panas bumi belum dapat menjawab tantangan dalam pengembangan panas bumi secara optimal dan berkelanjutan.

Demikian ditegaskan Satya dalam pertemuan dengan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diwakili Asisten Perekonomian dan Pembangunan Lalu Gita Ariadi beserta jajaran, Kamis pekan lalu.

Menurutnya, pengusahaan panas bumi yang diatur dalam UU No.27 Tahun 2003 terkait dengan adanya istilah kegiatan penambangan/pertambangan yang membawa konsekuensi bahwa kegiatan panas bumi yang dikategorikan sebagai kegiatan penambangan/pertambangan tidak dapat diusahakan di hutan konservasi berdasarkan ketentuan dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sumber daya panas bumi dapat dikategorikan sebagai sumber daya energi ramah lingkungan karena unsur-unsur yang berasosiasi dengan energi panas tidak membawa dampak lingkungan atau berada dalam batas ketentuan yang berlaku.

Dikatakannya, panas bumi berciri energi terbarukan, karena proses pembentukannya terus-menerus sepanjang masa selama kondisi lingkungannya dapat terjaga keseimbangannya. Sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama ditujukan untuk mencukupi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

I Wayan Gunastra anggota Pansus RUU Panas Bumi membenarkan bahwa panas bumi ini sama sekali tidak merusak lingkungan, justru panas bumi ini sangat bersih dan tidak polusi karena teknologinya sudah maju.  

Panas bumi, kata Gunastra, dikategorikan pertambangan dan panas bumi ini umumnya ada di kawasan hutan maka berbenturan dengan kementerian lainnya seperti kementerian kehutanan yang keberatan kalau disana dilakukan pertambangan. Oleh karena itu, perlu juga sosialisasi di masyarakat bahwa panas bumi tidak akan merusak lingkungan, sehingga harus dimanfaatkan pengembangannya karena Indonesia mempunyai stock power panas bumi terbesar di dunia

Untuk itu, lanjut Wayan, Pansus RUU Panas Bumi ingin mendapatkan masukan-masukan termasuk kendala-kendala apa yang dialami selama ini, sehingga dapat mengaturnya dalam RUU Panas Bumi.

Sementara Irvansyah (F-PDIP) mempertanyakan, apakah perlu ada batasan wilayah dalam penentuan area pengusahaan. Karena dalam UU No.41 Tahun 1990 Pasal 38 ayat (3) disebutkan bahwa kegiatan di area hutan itu harus ada batasan dan jangka waktu, apakah di dalam RUU ini perlu juga dilakukan seperti itu ada batasan wilayahnya dan jangka waktunya apakah 10 atau 20 tahun. Lalu bagaimana ketika berakhir apakah diperpanjang secara otomatis.

“Ini yang kami ingin eksplor dari Pemda NTB, apakah kewenangan yang ada di dalam draft RUU ini sudah cukup atau hal-hal lain apa yang perlu dimasukan terkait dengan kewenangan Pemda NTB. Karena di dalam RUU ini diatur tentang kewenangan Pemda dan Pemkabkot sebagaimana diatur dalam BAB II RUU ini, dimana pemberian izin bisa diberikan oleh menteri, gubernur maupun bupati, walikota sesuai dengan kewenangannya,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Husni dari Dinas Pertambangan NTB mengatakan terkait dengan perizinan ada hal rancu di RUU ini. Dalam Pasal 20 diatur bahwa setiap pengusahaan panas bumi wajib punya izin usaha panas bumi. Pada Pasal 9 diatur pengusahaan panas bumi ada pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung.

Dia melihat di pasal-pasal lain yang memberikan definisi izin panas bumi dan izin pemanfaatan langsung, kenapa tidak izin pemanfaatan tidak langsung. “Sebenarnya izin panas bumi itu ada dua-duanya, ini yang sangat rancu. Seolah-olah ada wilayah kerja itu hanya izin panas bumi, yang izin pemanfaatan langsungnya tidak bicara wilayah kerja,” ungkap dia.

Terkait dengan masalah kewenangan wilayah, Husni mengatakan tidak melihat kejelasan kewenangan itu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Hal itu harus diperjelas, karena ketika pengusaha akan mengajukan izin kerja pakai kawasan hutan harus jelas wilayahnya dan harus jelas kordinatnya.

“Kewenangan provinsi itu seperti apa, kenapa kita tidak adopsi saja dari UU Minerba, kalau provinsi itu lintas kabupaten dan kalau pemerintah lintas provinsi wilayah kerjanya. Ketentuan ini tidak ada di RUU Panas Bumi, sehingga masih membingungkan.  Wilayah kerja ini yang perlu diperjelas,” kata Husni menambahkan.(iw)/foto:iwan armanias/parle.

BERITA TERKAIT
Pansus: Rekomendasi DPR Jadi Rujukan Penyelidikan Penyelenggaraan Haji
30-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR RI terkait penyelenggaraan Ibadah Haji 2024 telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi setelah melakukan...
Revisi UU Tentang Haji Diharapkan Mampu Perbaiki Penyelenggaraan Ibadah Haji
26-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji 2024 DPR RI mendorong adanya revisi Undang-undang Haji seiring ditemukannya sejumlah...
RUU Paten Jadikan Indonesia Produsen Inovasi
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus RUU Paten Subardi menyatakan aturan Paten yang baru akan mempercepat sekaligus memudahkan layanan pendaftaran...
Pemerintah Harus Lindungi Produksi Obat Generik Dalam Negeri
24-09-2024 / PANITIA KHUSUS
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Paten Diah Nurwitasari meminta Pemerintah lewat sejumlah kementerian agar mampu...